Dialog dengan Listing Program
Kumpulah kertas-kertas sisa
perjuangan semester enam masih berserakan di meja belajar dan rak buku.
Rencananya hari ini akan ku ungsikan semuanya ke dalam kardus. Kumpulan listing program seakan berontak dan
protes atas sikapku selama ini
“kenapa kami hanya dibaca dan di pelajari
ketika ujian? Kenapa kami dijadikan bacaan yang kesekian padahal kami adalah
nyawa dari kuliah yang kau ambil sekarang. Kenapa kau lebih mementingkan novel-novel
yang jelas tidak ada hubungannya dengan kuliah? Apakah kami kurang menarik?
Apakan kami tidak menyenangkan? Bisakan kita berteman? Kenapa kami selalu
dibuang ketika penghujung semester tiba? Begitu bencikah kau dengan kami?”
Maafkan aku teman-teman listing. Aku tidak membenci kalian,
hanya saja alur pikiran kita tidak sejalan, kalian terlalu rumit untukku dan
aku belum bisa membuat kalian terlihat sederhana agar lebih mudah otakku
mencerna kalian.
Lamunanku membawaku ke masa lalu
masa dimana ketika cita-cita digantungkan setinggi-tingginya. Masih terlihat
jelas dalam ingatanku ketika aku dan teman-teman saling bertanya tentang
cita-cita. Dengan bangga kami menyebutkan cita-cita masing-masing dan
mendeskripsikan apa yang akan kami lakukan ketika cita-cita itu telah tercapai.
Kami anak-anak yang masih polos dan sangat optimis tentang masa depan.
Aku sendiri, cita-cita dari
kecilku adalah menjadi seorang dokter. Sampai-sampai aku mempertaruhkan kata
“dokter” dalam setiap kejadian yang aku alami.
Pernah ada satu kejadian ketika aku tejatuh dari sepeda dan tangan
kiriku mencium permukaan bumi dan mengeluarkan cairan merah menyala. Aku
berjanji pada diriku sendiri jika aku bisa mengatasi semuanya, menahan sakit dan
mengobati lukaku tanpa merengek-rengek aku pasti bisa menjadi seorang dokter
yang hebat di masa depan. Singkat cerita, aku bisa mengatasi semuanya tanpa ke
dokter dan tanpa bantuan orang tua walaupun saat itu tangan kiriku tidak
difungsikan untuk beberapa hari. Itu salah satu dari sekian kisah dimasa
kecilku tentang mempertaruhkan kata “dokter”.
Dokter hanyalah salah satu
cita-citaku. Terlahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai guru dan nenek
yang juga seorang guru membuatku berpikir tentang “sesuatu”. Aku ingin menjadi
guru tapi bukan menjadi guru seperti ibu dan nenek. Aku ingin menjadi pengajar
yang mengajarkan banyak hal, yang menginspirasi orang lain dengan kisah-kisah
sukses orang-orang terdahulu dan filosofi hidup penuh makna. Aku ingin ilmu
yang aku bagikan tidak hanya lewat begitu saja. Aku ingin apa yang aku ajarkan
tertanam di dalam diri mereka dan membuat mereka belajar lebih banyak lagi. Aku
tidak ingin menjadi pengajar yang menggurui, aku ingin menjadi sahabat bagi
murid-muridku, dipikiranku saat itu “jika kita bisa bersahabat dengan guru maka
aku pasti bisa bersahabat dengan ilmu, apa pun itu”. Pemikiran yang sangat
sederhana. Mungkin itulah sebabnya aku suka membaca dan lebih aktif bicara di
depan public.
Aku juga punya cita-cita memiliki
sebuah pulau yang isinya teknologi tercanggih abad 21 (terlalu sering nonton
doraemon haha). Isi pulau itu adalah rumah sakit tercanggih, sekolah
tercanggih, tempat mencari ilmu tercanggih, semua serba canggih pokoknya. Tapi
jangan khawatir, untuk masuk ke pulau itu GRATIS tapi ada syaratnya, setiap
orang yang masuk ke pulau itu dan mendapatkan kebaikan (ilmu) dari pulau itu
maka dia harus meneruskan kebaikan itu ke orang lain ke keluarga dan
orang-orang disekitarnya.
Dan cita-citaku yang paling aku
suka adalah menjadi ibu rumah tangga yang memiliki suami yang hebat dan
anak-anak yang hebat. Jangan bayangkan aku menjadi ibu rumah tangga yang
menghabiskan hari-hari indah di dalam rumah saja. Aku bukan tipe orang seperti
itu, aku bukan tipe wanita yang suka berdiam diri. Statusku mungkin hanya sebagai
ibu rumah tangga. Tapi, selain menjalankan kewajiban sebagai seorang istri dan
ibu bagi anak-anak aku juga memiki kesibukan. Kesibukan itu tidak harus di luar
rumah, di dalam rumah pun boleh tapi sekali-kali keluar rumah untuk memperluas
wawasan. Aku akan menyulap rumahku menjadi tempat yang menyenangkan untuk
belajar bagi anak-anak. Aku akan menyulap lantai satu rumahku menjadi tempat
belajar bahasa asing dan aku berpartisipasi di dalamnya. Akan ku datangkan
guru-guru bahasa asing terbaik.
Aku juga suka anak-anak. Akan ku
buat halaman samping rumahku menjadi taman bermain anak-anak yang sangat
menyenangkan. Mungkin juga bisa dibuat tempat penitipan anak dan PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini). Tidak hanya menjadi taman yang menyenangkan untuk
bermain, disini juga anak-anak akan belajar hal-hal yang sangat menyenangkan
dan menstimulasi otak mereka untuk berpikir kreatif. Di halaman belakang rumah ada kolam ikan
kecil yang setiap sore hari aku dan suami duduk santai di teras belakang sambil
melihat anak-anak bermain dengan ikan-ikan kecil.
Ruangan terhangat di dalam rumah
kami adalah ruang keluarga. Setiap malam di ruangan ini aku dan suami mengajak
anak-anak berbincang tentang apa yang mereka alami hari ini dan ilmu baru apa
yang mereka pelajari. Aku, suami dan anak-anak, kami adalah satu kesatuan yang
saling melengkapi.
Week end adalah hari yang paling disukai anak-anak ku. Setiap week end kami mengunjungi tempat yang
tidak hanya untuk tempat refreshing tapi
juga tempat untuk menambah wawasan baru. Hari libur sekolah kami manfaatkan
berkunjung ke rumah neneknya anak-anak (mudik) dan silaturahmi ke keluarga yang
lain. Sejak kecil anak-anak harus diajarkan bersosialisasi dan mengenal
keluarga. Hari libur sekolah juga bisa dimanfaatkan untuk berlibur ke luar
negeri ke tempat yang memiliki nilai historis atau bahkan umroh bareng keluarga
besar.
Senangnyaaa jadi ibu rumah tangga
:D :D :D
Aku tersadar dari lamunanku dan
ternyata kumpulan kertas listing telah
berhamburan kemana-mana tertiup kipas angin, seola-olah mereka menertawakan
kejadian barusan dan mengejek apa yang sedang aku lamunkan.
“Lihat dirimu, cita-cita mu ingin menjadi
dokter, tapi sekarang apa? Mengambil study ilmu komputer. Kamu juga ingin
menjadi guru kan? Tapi kenapa tidak sekolah keguruan saja? Pantas saja
kita tidak cocok. Dari awal kedatangan kami tidak kau harapkan, kami bukan yang
kau inginkan. Terus sekarang bagaimana? Kamu masih ingin menjadi dokter? Guru? Atau
mau menikah? :D”
Entahlah aku sendiri juga kebingungan dengan jurusan yang aku tempuh sekarang. Hanya Allah yang tau selanjutnya akan mengalir kemana.
0 comments: