Mekar
Malam ini aku sengaja pulang malam, bukan karena lembur atau
ada meeting di kantor. Tapi, aku
berniat merapikan isi ruanganku, sepertinya harus di ubah tata letaknya untuk
memberi sedikit nuansa yang berbeda setelah dua tahun yang melelahkan, dua
tahun yang menguras perasaan, dua tahun yang lebih dari cukup membuatku
mengerti arti cinta dengan pemahaman yang baru dari segala sudut-sudutnya yang
bahkan dengan tinta seluas samudera Atlantikpun tak akan habis untuk menuliskan
makna cinta.
Pukul 17.00 harusnya sekarang aku menghabiskan weekend bersama Linda atau sekedar minum kopi untuk menghilangkan
kepenatan. Ah, sudahlah. Mungkin dengan cara ini sedikit kesedihanku akan
terkikis. Apakah aku bersedih? Tentu saja. Tapi, aku akan lebih bersedih lagi
jika tidak melakukan hal itu. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Yang
pasti aku tidak tega merampas kebahagiaan anak-anak itu. Mungkin saat itu Rosie
sudah ikhlas melepas Tegar untukku tapi, anak-anak itu? Mereka lebih
membutuhkan kasih sayang Tegar. Mereka butuh seorang ayah yang selalu
melindungi mereka dan membuat mereka merasa nyaman. Bukankah hakikat cinta
adalah melepaskan? Aku belajar satu lagi pemahaman cinta dari sudut yang berbeda.
“Sekar, kau lupa dengan janjimu malam ini?” Suara Linda
membuyar lamunanku.
“Kau ini. Tanpa salam. Tanpa mengetuk pintu main nyelonong
aja masuk ke ruanganku. Memangnya ada janji apa? Aku sudah mengosongkan
jadwalku malam ini. Aku ingin membereskan ruanganku dan sedikit ingin mengubah
tata letaknya agar lebih indah.”
“Bukankah malam ini kita akan nonton film kesukaanmu? Kenapa
kau tiba-tiba pelupa begini?”
“Astaga... Iya, aku benar-benar lupa maafkan aku. Tapi,
sunggu aku tidak berminat lagi untuk menonton film itu. Aku ingin membereskan
kantorku, membereskan ruang kerjaku”.
“Ya sudahlah, percuma saja membujuk orang yang lagi patah
hati, seribu kata keluarpun tidak akan dihiraukan. Selamat menyibukkan diri
Sekar. ”
Aku hanya melambaikan tangan, kemudian punggungya berlalu
meninggalkan ruanganku.
Empat puluh tujuh
menit berlalu, sedikit sentuhan lagi ruangan ini akan menampakkan kesan lebih
elegan. Yapp, Sempurna. Sentuhan
bunga Mawar biru favoritku menyempurnakan keeleganan ruangan ini. Ah, mawar
biru. Kenapa aku juga menyukai mawar biru seperti Rosie. Kenapa kami punya
selera yang sama untuk urusan yang satu ini. Rosie sungguh kau adalah wanita
yang sangat beruntung. Memiliki empat kuntum bunga dan Tegar yang selalu
mencintaimu. Kau pantas mendapatkan
semua keindahan hidup ini Rosie. Tapi, apakah aku juga punya kesempatan itu?
Aku juga ingin memiliki keluarga. Aku sama seperti wanita lainnya yang ingin
dicintai sepenuhnya tanpa ada bayang-bayang masa lalu. Tanpa terasa air mataku
menetes membasahi dokumen-dokumen usang ini.
Aku tepat berada dirumah sebelum pukul 09.00. Merendam diri
dengan air panas dengan sentuhan aroma terapi akan sedikit membatu membuat
otakku lebih relaks. Selesai mandi aku bersiap-siap tidur dan astaga... ada 11
panggilan masuk di handphone. Siapa
malam-malam begini menghubungiku, mungkin Linda. Tapi, astaga nama yang muncul
di layar handphone ini adalah tegar. Aku
langsung menghubungi balik dan terdengar jawaban dari sana.
“Selamat malam Sekar..”
“Pagi, Tegar ada apa?”
“Kenapa pagi? Bukankah sekarang di Jakarta masih pukul 10.00
atau mungkin benua kita sudah berbeda?” Tegar selalu saja begitu, berusaha
mencairkan suasana
“Bukankah kau pernah bilang, bagimu waktu selalu pagi. Diantara
dua puluh empat jam sehari, pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji
baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan
baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di
kaki pegunungan. “
“Hahahaa....Sekar, kau masih mengingatnya.”
Tentu saja tegar,
bukankah aku pernah menjadi bagian dari hidupmu, lirihku dalam hati “By the way, ada apa Tegar menelponku
malam-malam begini?”
“Maaf Sekar mengganggu istirahatmu, tadi siang aku ingin
menelpon tapi aku tahu jadwal kerjamu yang padat, mana mungkin kau menghiraukan
dering handphone-mu ketika sedang
asyik bekerja. Jadi, aku memutuskan menelpon malam saja.”
Papa..papa, apakah papa sudah bicara sama tante Sekar. Suara itu sayup terdengar di handphone-ku, sepertinya itu suara
kuntum bungan ke empat, Lili. “Sebentar sayang, ini Papa sedang menelpon tante
Sekar”.
“Begini Sekar, minggu depan anak-anak libur sekolah dan kami
sepakat akan ke Jakarta atas permintaan anak-anak. Mereka ingin bertemu kamu,
terutama Lili, dia sangat merindukan kamu peri penolongnya” Tegar tertawa renyah.
Peri penolong, bagi Lili aku adalah peri penolongnya. Dihari
pernikahanku yang seharusnya adalah hari paling bahagia dalam hidupku, aku
harus merelakan sepotong hatiku pergi bersama cinta lamanya. Ya cinta lama itu
adalah Rosie ibu dari Anggrek, Sakura, Jasmine dan Lili. Masih terukir jelas
dalam ingatanku, Lili seorang anak kecil yang sangat polos dan dua tahun tidak
pernah berkeinginan untuk bicara tiba-tiba hari itu bicara. Lili menangis dan
memohon kepada Tegar agar Tegar tidak meninggalkannya. Lili begitu menyayangi
Tegar, Lili tidak ingin memanggil Tegar dengan sebutan om seperti Anggrek, uncle seperti Sakura atau Paman seperti Jasmine, tapi Lili
ingin memanggil Tegar dengan sebutan Papa. Lili menginginkan Tegar menjadi ayahnya.
Wanita mana yang tidak tersentuh melihat peristiwa itu. Aku membuat keputusan
besar dalam hidupku, keputusan yang mungkin aku tak akan sanggup untuk
menjalaninya. Aku membatalkan pernikahanku dan merelakan Tegar untuk Rosie,
lebih tepatnya untuk anak-anak.
Sejak saat itu anak-anak Rosie mengenalku dan menganggapku sebagai peri penolong yang baik hati, tepatnya berbaik hati karena tidak merampas paman mereka yang hebat, keren, dan super yang sekarang mereka panggil dengan sebutan papa.
“Bagaimana Sekar,
apakah kau keberatan jika anak-anak menghabiskan liburan bersama tante Sekarnya”.
Pertanyaan tegar membuyar lamunanku.
“Tentu aku akan sangat senang sekali Tegar, aku juga sangat
merindukan Lili, Jasmine, Sakura dan Anggrek.” Bagaimana mungkin aku menolak
permintaan anak-anak itu, anak-anak yang baik hati dan berjiwa besar. Walaupun aku
sangat sakit karena harus menikam sisa rasa cintaku kepada Tegar.
Bersambung...
-----------------------
Menciptakan ending sendiri yang lebih berperasaan, anggap saja ini lanjutan kisah Sunset Bersama Rosie karya Darwis Tere Liye
0 comments: