Tulip Biru
Bulan masih malu-malu menampakkan
diri. Hanya terlihat bintang yang berjejer rapi sesuai denga rasinya.
Semilir angin malam sayup berhembus di keramaian kota, diantara
kemacetan dan kerlip lampu jalan. Aku mendongakkan kepala menatap
langit dan gemerlap bintang. Aku sangat menyukai malam dan bintang.
Aku suka menikmati kehangatan
bintang bersamamu disini, di jembatan ampera ini. Kamu suka sekali
menunjuk bintang sambil melukiskan gambar bunga tulip biru
kesukaanku. Dan kamu berjanji akan membawakan tulip biru dari
Belanda. Aku akan berkata, Aku tunggu tulip birunya. Lalu kamu
akan pura-pura ngambek, Cuma tulipnya yang ditungu, yang ngebawa
tulipnya gak ditunggu. Kemudian kita tertawa bersama. Itu adalah
malam terakhir kita sebelum kamu pergi ke Belanda untuk melanjutkan
studi S2.
***
Pati asuhan. Pertama kali kita
bertemu. Riuh girang suara anak-anak panti asuhan ketika ada donatur
berkunjung, tidak terkecuali aku yang waktu itu menjadi anak panti.
Hanya saja aku sudah bisa mengendalikan diri karena usiaku sudah lima
belas tahun, tidak perlu berjingkrak-jingkrak senang, cukup dengan
senyum sumringah untuk mengungkapkan kegembiraan.
Aku adalah anak paling tua di panti
dan sekaligus penghuni pertama di panti ini. Ibu panti tidak
mempunyai anak dan waktu itu aku ditemukan ibu panti di bawah pohon.
Sejak saat itu ibu panti dan suaminya memutuskan untuk membuat panti
asuhan.
Kami anak-anak panti sangat senang
jika ada donatur yang berbaik hati, membawa makanan atau sekedar
bertandang. Hari minggu adalah hari yang kami tunggu dari deretan
tujuh hari dalam seminggu. Karena di hari minggu ada ibu baik hati
yang sengaja meluangkan waktunya mengunjungi kami. Beliau sangat
rendah hati, bahkan menyuruh kami
memanggilnya dengan sebutan “Mama”.
Kami suka rebutan bersalaman dengan
mama ketika mama datang. Rasanya seperti menunggu kedatangan ibu yang
pulang dari kerja yang tidak pernah kami rasakan, karena kami semua
disini tidak memiliki ibu. Mama juga dengan senang hati mendengarkan
curhatan kami, mendengar cerita tentang apa saja yang kami alami di
sekolah dan hal-hal kecil yang terjadi di panti.
Mama adalah seorang janda. Suaminya
sudah lama meninggal karena kecelakaan. Sejak ditinggal suaminya
itulah mama rutin mengunjungi panti ini, kata mama agar tidak terlalu
merasa kesepian dan selalu bersyukur atas kehidupan yang diberikan
Tuhan. Mama memiliki seorang anak laki-laki yang saat itu berusia
delapan belas tahun. Anak laki-laki mama sangat baik, suka menemani
mama ke panti, membawakan makanan dan pakaian untuk kami. Kami
memanggilnya dengan sebutan kakak, kak Denny.
“Shania, bisa bantu kakak bawa
makanan dari mobil, sekalian ajak adik-adik yang lain ya?”
“Ok, kak”
Pertemuan rutin seminggu sekali itu
menumbuhkan benih-benih cinta dihatiku. Cinta pertamaku. Rasa itu
begitu bergejolak di dada, membuatku bahagia luar biasa. Namun, ada
kekhawatiran kalau cinta ini tak terbalaskan. Kalau kamu tidak pernah
merasakan hal yang sama. Kalau kamu hanya menganggapku tak lebih dari
seorang adik.
Aku hanya anak panti asuhan yang
tidak jelas asal-usulnya. Terlalu banyak berharap bahwa ada seorang
pangeran yang menaruh hati pada gadis lusuh yang tidak pernah
tersentuh make up dan parfum. Kamu tahu, aku sering
merasa minder ketika kamu datang. Pakaian yang aku pakai itu-itu saja
dan sangat lusuh. Aku ingin kelihatan cantik di depanmu. Aku ingin
seperti gadis remaja yang lain yang selalu kelihatan rapi dan wangi.
Sepertinya itu hanya terjadi di dalam mimpi.
Seminggu sekali selama tiga tahun
kita bertemu dan aku masih menyimpan rapi perasaanku. Usiaku
menginjak delapan belas tahun dan kamu dua puluh satu. Aku lulus SMA
dengan nilai yang cukup baik. Ibu panti berinisiatif untuk mengadakan
syukuran kecil atas kelulusan anak pertamanya. Mama dan kak Denny
mengucapkan selamat atas kelulusanku. Mama menanyakan tentang rencana
selanjutnya yang aku sendiri tidak tau mau kemana setelah ini.
“Selamat ya Shania gak terasa udah
lulus SMA”
“Makasih mama, berkat mama yang
selalu menyisihkan uang mama untuk panti ini hingga Shania bisa
sekolah”
“Berkat donatur yang lain juga,
rencananya setelah ini Sha mau kemana?”
“Hee iya ma, Sha mau melamar kerja
ma”
“Kenapa gak kuliah? Kayak kak
Denny, nanti perginya bisa bareng kak Denny”
“Ah, Shania gak terlalu pintar
diakademik ma, nanti malah buang-buang uang saja. Lebih baik uangnya
dipakai untuk keperluan yang lain yang lebih penting.”
Dalam hati aku ingin sekali kuliah.
Aku ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi anak kuliahan,
menggantungkan cita-cita yang tinggi dan meraihnya. Tapi, aku simpan
keinginan itu. Begitu banyak anak di panti ini. Aku tidak boleh
egois, membayar uang kuliah mungkin akan menambah beban ibu panti.
Lagipula aku memang tidak terlalu pintar.
Atas saran dari mama, aku mengikuti
kursus membuat kue sambil bekerja di toko buku. Aku mulai membuat
bermacam-macam kue dan menitipkannya ke warung-warung di dekat panti
dan toko buku tempatku bekerja. Uangnya lumayan untuk membantu
perekonomian panti. Setahun setelah kursus, atas saran dari mama
juga, aku membuka toko kue di dekat panti dan berhenti dari
pekerjaanku sebagai kasir di toko buku.
Suara klaksok khas kemacetan kota di
sore hari mulai mengalunkan nadanya. Nada tidak beraturan ini selalu
setia menemaniku pulang dari tiko kue berjalan kaki.
Tinn.. tinnn. Suara klakson
mobil dibelakangku, yang artinya aku harus segera menepi ke bahu
jalan agar tidak tertabrak. Tinn tinn. Aku merasa tidak
menghalangi mobil itu, kenapa masih membunyikan klakson.
“Mau, pulang Sha?”
“Eh kak Denny, iya kak baru mau
pulang.” Ternyata mobik kak Denny.
“Bareng kakak aja yuk, kakak mau
mampir ke panti ada titipan dari mama.”
Tanpa ragu-ragu aku langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kak Denny.
“Gimana toko kuenya Sha, kayaknya
makin rame aja?”
“Alhamdulillah kak, berkat mama
yang memiliki ide ini Sha bisa membantu perekonomian panti, kakak
gimana? Kata mama kakak udah selesai kuliahnya ya? Terus rencananya
mau kemana?”
“Hehee, iya Sha. Kakak mau
mengambil kuliah spesialis penyakit dalam ke Belanda.”
“Wahh, selamat ya kak, Nanti kalau
kakak pulang Sha nitip bunga Tulip biru ya”
“Kenapa biru Sha?”
“Suka aja. Biru itu damai dan
indah.”
“Ehh Sha, mampir sebentar ya di
jembatan. Ada temen-temen kakak dari komunitas fotografi, kebetulan
tadi sore mereka memotret senja dan menunggu purnama malam ini.”
“Ok, kak. Sha juga suka purnama
apalagi kalau ada bintangnya.”
Kami memarkir mobil di bawah
jembatan, kemudian naik ke atas jembatan melalui tangga. Senja sudah
berlalu dua jam yang lalu dan kini tiba saatnya purnama menampakkan
keindahannya. Kami berjalan-jalan disekitar jembatan. Sementara
komunitas fotografi sedang asyik memainkan kamera membidik setiap
sudut malam ditaburi cahaya purnama.
“Purnamanya indah ya Kak.”
“Tapi tidak bisa mengalahkan
indahnya wajah Shania.” Aku terkejut sekaligus senang dengan
kata-kata kak Denny, mungkin saat ini pipiku memerah menahan malu.
Kak Denny melanjutkan langkah,
menyapa teman-temannya. Sementara aku masih menikmati purnama.
Purnama malam ini sangat sempurna, indah. Lima belas menit berlalu.
“I love you, Sha”. Aku kaget
bukan kepalang. Kak Denny tiba-tiba berada dibelakangku dan
membisikkan kata-kata itu. Aku bingung, hampir tidak bisa
mengendalikan diri menahan malu.
“Kakak kenapa, ngantuk ya? Kita
pulang yuk.”
“Kakak suka sama Shania, sejak
pertama kakak menemani mama ke panti. Hanya saja kakak tidak tau
apakan rasa ini hanya simpati. Apakah rasa ini hanya rasa sayang
seorang kakak untuk adiknya.”
Aku semakin terdiam dengan pengakuan
kak Denny. Aku bingung harus bagaimana. Oh bulan, tolong aku, katakan
sesuatu bulan. Ternyata kak Denny merasakan hal yang sama. Cintaku
tidak bertepuk sebelah tangan.
“Sha, kakak tidak tau harus
bagaimana mengungkapkannya. Maafkan kakak jika Sha tidak.... ”
“Sha juga cinta sama kak Denny.”
Aku langsung memotong kata-kata kak Denny dan mengungkapkan
perasaanku juga.
***
Sejak saat itu kita sering
menghabiskan malam bersama di jembatan ini. Sangat menyenangkan
mengingat moment itu. Hari paling membahagiakan dalam hidupku
mengetahui ada seorang laki-laki yang mencintaiku. Namu aku masih
menunggu, menunggu janjimu untuk kembali. Sempat terpikir apakan kamu
jatuh cinta dengan seorang wanita disana? Apakan kamu lupa dengan
janjimu? Segera aku tepis prasangka buruk itu. Aku tidak pernah
meragukan cintamu. Cinta pertamaku.
Malam ini malam ke 628 kita terpisah
samudera dan benua. Semakin jarang aku mendengar kabarmu, yang bisa
aku lakukan saat ini hanya menyibukkan diri di toko kue agar
kerinduan tidak terlalu menyiksa. Dan ketika kerinduan sudah tak
terbendung lagi, aku akan pergi ke jembatan ini dan mencurahkan hati
pada bintang, seperti malam ini. Aku merindukanmu Denny.
Tempat ini selalu menyenangkan.
Berjalan disepanjang jembatan, menyentuh pagar, sesekali menatap
sungai dengan perahu berlalu lalang membawa barang dari seberang.
Sedikit banyak membantuku mengobati rindu ini. Dari atas jembatan
ampera ini, aku bisa melihat dengan leluasa kemegahan kota yang
dipisahkan oleh liuk sungai musi, tidak jauh dari jembatan ini,
berdiri kokoh masjid Agung yang sangat indah. Gemercik air mancur
memberikan kedamaian di tengah hiruk pikuk sisa kemacetan di sore
hari.
“Sendirian aja mbak?” Seorang
laki-laki memakai kacamata hitam dan menutup mulutnya dengan sapu
tangan menyapaku, sambil membidik landcape langit dengan
kameranya.
Aku menyeringai datar memberikan
senyum tipis, tidak begitu tertarik dengan sapaannya. Aku kembali
menatap bulan dengan tatapan penuh harap.
“Sedang menunggu seseorang ya
mbak?” Suara laki-laki itu kembali terdengar, serak dan berat
seperti dibuat-buat. Sepertinya tidak menyerah mengajakku berbicara.
Aku bergeser beberapa langkah menjauh darinya dan berharap dia tidak
mengajakku bicara lagi.
Laki-laki itu masih mengikutiku.
Membuntutiku dari belakang. Aku masih tidak menghiraukannya, sampai
dia memperlihatkan sesuatu. Tulip Biru.
------------------
Cerpen klasik. Setting klasik. :D
Baru ditemukan satu jam yang lalu dari tumpukan file usang sisa perjuangan semasa kuliah :D
0 comments: