Tulip Biru

23:25 immobulus 0 Comments

Bulan masih malu-malu menampakkan diri. Hanya terlihat bintang yang berjejer rapi sesuai denga rasinya. Semilir angin malam sayup berhembus di keramaian kota, diantara kemacetan dan kerlip lampu jalan. Aku mendongakkan kepala menatap langit dan gemerlap bintang. Aku sangat menyukai malam dan bintang.

Aku suka menikmati kehangatan bintang bersamamu disini, di jembatan ampera ini. Kamu suka sekali menunjuk bintang sambil melukiskan gambar bunga tulip biru kesukaanku. Dan kamu berjanji akan membawakan tulip biru dari Belanda. Aku akan berkata, Aku tunggu tulip birunya. Lalu kamu akan pura-pura ngambek, Cuma tulipnya yang ditungu, yang ngebawa tulipnya gak ditunggu. Kemudian kita tertawa bersama. Itu adalah malam terakhir kita sebelum kamu pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi S2.
***
Pati asuhan. Pertama kali kita bertemu. Riuh girang suara anak-anak panti asuhan ketika ada donatur berkunjung, tidak terkecuali aku yang waktu itu menjadi anak panti. Hanya saja aku sudah bisa mengendalikan diri karena usiaku sudah lima belas tahun, tidak perlu berjingkrak-jingkrak senang, cukup dengan senyum sumringah untuk mengungkapkan kegembiraan.


Aku adalah anak paling tua di panti dan sekaligus penghuni pertama di panti ini. Ibu panti tidak mempunyai anak dan waktu itu aku ditemukan ibu panti di bawah pohon. Sejak saat itu ibu panti dan suaminya memutuskan untuk membuat panti asuhan.

Kami anak-anak panti sangat senang jika ada donatur yang berbaik hati, membawa makanan atau sekedar bertandang. Hari minggu adalah hari yang kami tunggu dari deretan tujuh hari dalam seminggu. Karena di hari minggu ada ibu baik hati yang sengaja meluangkan waktunya mengunjungi kami. Beliau sangat rendah hati, bahkan menyuruh kami
memanggilnya dengan sebutan “Mama”.

Kami suka rebutan bersalaman dengan mama ketika mama datang. Rasanya seperti menunggu kedatangan ibu yang pulang dari kerja yang tidak pernah kami rasakan, karena kami semua disini tidak memiliki ibu. Mama juga dengan senang hati mendengarkan curhatan kami, mendengar cerita tentang apa saja yang kami alami di sekolah dan hal-hal kecil yang terjadi di panti.

Mama adalah seorang janda. Suaminya sudah lama meninggal karena kecelakaan. Sejak ditinggal suaminya itulah mama rutin mengunjungi panti ini, kata mama agar tidak terlalu merasa kesepian dan selalu bersyukur atas kehidupan yang diberikan Tuhan. Mama memiliki seorang anak laki-laki yang saat itu berusia delapan belas tahun. Anak laki-laki mama sangat baik, suka menemani mama ke panti, membawakan makanan dan pakaian untuk kami. Kami memanggilnya dengan sebutan kakak, kak Denny.

Shania, bisa bantu kakak bawa makanan dari mobil, sekalian ajak adik-adik yang lain ya?”
Ok, kak”

Pertemuan rutin seminggu sekali itu menumbuhkan benih-benih cinta dihatiku. Cinta pertamaku. Rasa itu begitu bergejolak di dada, membuatku bahagia luar biasa. Namun, ada kekhawatiran kalau cinta ini tak terbalaskan. Kalau kamu tidak pernah merasakan hal yang sama. Kalau kamu hanya menganggapku tak lebih dari seorang adik.

Aku hanya anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usulnya. Terlalu banyak berharap bahwa ada seorang pangeran yang menaruh hati pada gadis lusuh yang tidak pernah tersentuh make up dan parfum. Kamu tahu, aku sering merasa minder ketika kamu datang. Pakaian yang aku pakai itu-itu saja dan sangat lusuh. Aku ingin kelihatan cantik di depanmu. Aku ingin seperti gadis remaja yang lain yang selalu kelihatan rapi dan wangi. Sepertinya itu hanya terjadi di dalam mimpi.

Seminggu sekali selama tiga tahun kita bertemu dan aku masih menyimpan rapi perasaanku. Usiaku menginjak delapan belas tahun dan kamu dua puluh satu. Aku lulus SMA dengan nilai yang cukup baik. Ibu panti berinisiatif untuk mengadakan syukuran kecil atas kelulusan anak pertamanya. Mama dan kak Denny mengucapkan selamat atas kelulusanku. Mama menanyakan tentang rencana selanjutnya yang aku sendiri tidak tau mau kemana setelah ini.

Selamat ya Shania gak terasa udah lulus SMA”
Makasih mama, berkat mama yang selalu menyisihkan uang mama untuk panti ini hingga Shania bisa sekolah”
Berkat donatur yang lain juga, rencananya setelah ini Sha mau kemana?”
Hee iya ma, Sha mau melamar kerja ma”
Kenapa gak kuliah? Kayak kak Denny, nanti perginya bisa bareng kak Denny”
Ah, Shania gak terlalu pintar diakademik ma, nanti malah buang-buang uang saja. Lebih baik uangnya dipakai untuk keperluan yang lain yang lebih penting.”

Dalam hati aku ingin sekali kuliah. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi anak kuliahan, menggantungkan cita-cita yang tinggi dan meraihnya. Tapi, aku simpan keinginan itu. Begitu banyak anak di panti ini. Aku tidak boleh egois, membayar uang kuliah mungkin akan menambah beban ibu panti. Lagipula aku memang tidak terlalu pintar.

Atas saran dari mama, aku mengikuti kursus membuat kue sambil bekerja di toko buku. Aku mulai membuat bermacam-macam kue dan menitipkannya ke warung-warung di dekat panti dan toko buku tempatku bekerja. Uangnya lumayan untuk membantu perekonomian panti. Setahun setelah kursus, atas saran dari mama juga, aku membuka toko kue di dekat panti dan berhenti dari pekerjaanku sebagai kasir di toko buku.

Suara klaksok khas kemacetan kota di sore hari mulai mengalunkan nadanya. Nada tidak beraturan ini selalu setia menemaniku pulang dari tiko kue berjalan kaki.

Tinn.. tinnn. Suara klakson mobil dibelakangku, yang artinya aku harus segera menepi ke bahu jalan agar tidak tertabrak. Tinn tinn. Aku merasa tidak menghalangi mobil itu, kenapa masih membunyikan klakson.

Mau, pulang Sha?”
Eh kak Denny, iya kak baru mau pulang.” Ternyata mobik kak Denny.
Bareng kakak aja yuk, kakak mau mampir ke panti ada titipan dari mama.”

Tanpa ragu-ragu aku langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kak Denny.

Gimana toko kuenya Sha, kayaknya makin rame aja?”
Alhamdulillah kak, berkat mama yang memiliki ide ini Sha bisa membantu perekonomian panti, kakak gimana? Kata mama kakak udah selesai kuliahnya ya? Terus rencananya mau kemana?”
Hehee, iya Sha. Kakak mau mengambil kuliah spesialis penyakit dalam ke Belanda.”
Wahh, selamat ya kak, Nanti kalau kakak pulang Sha nitip bunga Tulip biru ya”
Kenapa biru Sha?”
Suka aja. Biru itu damai dan indah.”
Ehh Sha, mampir sebentar ya di jembatan. Ada temen-temen kakak dari komunitas fotografi, kebetulan tadi sore mereka memotret senja dan menunggu purnama malam ini.”
Ok, kak. Sha juga suka purnama apalagi kalau ada bintangnya.”

Kami memarkir mobil di bawah jembatan, kemudian naik ke atas jembatan melalui tangga. Senja sudah berlalu dua jam yang lalu dan kini tiba saatnya purnama menampakkan keindahannya. Kami berjalan-jalan disekitar jembatan. Sementara komunitas fotografi sedang asyik memainkan kamera membidik setiap sudut malam ditaburi cahaya purnama.

Purnamanya indah ya Kak.”
Tapi tidak bisa mengalahkan indahnya wajah Shania.” Aku terkejut sekaligus senang dengan kata-kata kak Denny, mungkin saat ini pipiku memerah menahan malu.
Kak Denny melanjutkan langkah, menyapa teman-temannya. Sementara aku masih menikmati purnama. Purnama malam ini sangat sempurna, indah. Lima belas menit berlalu.
I love you, Sha”. Aku kaget bukan kepalang. Kak Denny tiba-tiba berada dibelakangku dan membisikkan kata-kata itu. Aku bingung, hampir tidak bisa mengendalikan diri menahan malu.
Kakak kenapa, ngantuk ya? Kita pulang yuk.”
Kakak suka sama Shania, sejak pertama kakak menemani mama ke panti. Hanya saja kakak tidak tau apakan rasa ini hanya simpati. Apakah rasa ini hanya rasa sayang seorang kakak untuk adiknya.”
Aku semakin terdiam dengan pengakuan kak Denny. Aku bingung harus bagaimana. Oh bulan, tolong aku, katakan sesuatu bulan. Ternyata kak Denny merasakan hal yang sama. Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
Sha, kakak tidak tau harus bagaimana mengungkapkannya. Maafkan kakak jika Sha tidak.... ”
Sha juga cinta sama kak Denny.” Aku langsung memotong kata-kata kak Denny dan mengungkapkan perasaanku juga.

***

Sejak saat itu kita sering menghabiskan malam bersama di jembatan ini. Sangat menyenangkan mengingat moment itu. Hari paling membahagiakan dalam hidupku mengetahui ada seorang laki-laki yang mencintaiku. Namu aku masih menunggu, menunggu janjimu untuk kembali. Sempat terpikir apakan kamu jatuh cinta dengan seorang wanita disana? Apakan kamu lupa dengan janjimu? Segera aku tepis prasangka buruk itu. Aku tidak pernah meragukan cintamu. Cinta pertamaku.

Malam ini malam ke 628 kita terpisah samudera dan benua. Semakin jarang aku mendengar kabarmu, yang bisa aku lakukan saat ini hanya menyibukkan diri di toko kue agar kerinduan tidak terlalu menyiksa. Dan ketika kerinduan sudah tak terbendung lagi, aku akan pergi ke jembatan ini dan mencurahkan hati pada bintang, seperti malam ini. Aku merindukanmu Denny.
Tempat ini selalu menyenangkan. Berjalan disepanjang jembatan, menyentuh pagar, sesekali menatap sungai dengan perahu berlalu lalang membawa barang dari seberang. Sedikit banyak membantuku mengobati rindu ini. Dari atas jembatan ampera ini, aku bisa melihat dengan leluasa kemegahan kota yang dipisahkan oleh liuk sungai musi, tidak jauh dari jembatan ini, berdiri kokoh masjid Agung yang sangat indah. Gemercik air mancur memberikan kedamaian di tengah hiruk pikuk sisa kemacetan di sore hari.

Sendirian aja mbak?” Seorang laki-laki memakai kacamata hitam dan menutup mulutnya dengan sapu tangan menyapaku, sambil membidik landcape langit dengan kameranya.

Aku menyeringai datar memberikan senyum tipis, tidak begitu tertarik dengan sapaannya. Aku kembali menatap bulan dengan tatapan penuh harap.

Sedang menunggu seseorang ya mbak?” Suara laki-laki itu kembali terdengar, serak dan berat seperti dibuat-buat. Sepertinya tidak menyerah mengajakku berbicara. Aku bergeser beberapa langkah menjauh darinya dan berharap dia tidak mengajakku bicara lagi.


Laki-laki itu masih mengikutiku. Membuntutiku dari belakang. Aku masih tidak menghiraukannya, sampai dia memperlihatkan sesuatu. Tulip Biru. 






------------------
Cerpen klasik. Setting klasik. :D
Baru ditemukan satu jam yang lalu dari tumpukan file usang sisa perjuangan semasa kuliah :D


You Might Also Like

0 comments: