LANGIT

12:30 immobulus 0 Comments






Toko buku ini masih sepi. Salah seorang petugasnya masih tampak menata buku di rak tengah, rak buku best sellers yang ditata sedemikian rupa untuk menarik perhatian pengunjung. Aku sengaja datang pagi-pagi, mencari diskon 25% yang ditawarkan toko ini untuk seratus pelanggan pertama. Aih, dasar manusia diskon! Tapi biarlah, untuk seorang penggila buku sepertiku, empat kali diskon 25% bisa menambah satu koleksi buku, itu penting. Hehe.
Tidak seperti biasanya, kali ini aku tidak langsung menuju ke rak pojok depan tempat novel-novel tertata rapi. Sengaja. Aku melangkah lebih jauh menuju rak belakang untuk mencari buku tentang filsafat komunikasi yang menjadi bahan dasar skripsiku. Skripsi? Ah, makhluk yang satu itu mau tidak mau mengurangi jatahku menulis dan membaca kisah-kisah fiksi. Sesampainya di area buku komunikasi, langsung saja kubuka buku “Filsafat Ilmu Komunikasi” karangan Elvinaro yang kebetulan sudah dibuka sampulnya. Barangkali buku ini bisa menjawab pikiran kacauku tentang paradigma penelitian.
“Aisa.” Seseorang memanggilku. Aku menoleh mencari sang pemilik suara. Seketika kutemukan seorang lelaki melambaikan tangannya sambil tersenyum di balik rak buku di seberang tempatku berdiri.

Astaga. Sekejap kecamuk pikiranku tentang paradigma penelitian, data-data latar belakang, teori-teori filsafat komunikasi yang beberapa hari ini mengganggu pikiranku, enyah begitu saja. Aku tidak tahu molekul apa yang mampu menerbangkan mereka dari pikiranku. Seketika itu pula, mataku tertuju pada baju cokelat muda sesiku yang tampak dari sela-sela buku daaaan.. sepasang sesuatu yang mencirikhaskan dirinya. Itu dia. Kacamata itu. Kacamata itu mencirikhaskan seseorang yang… ah, tidak salah lagi. Itu dia.
“Eh, Bang Izar?” Aku menutup buku yang dari tadi kubaca. Hatiku memuji diriku yang bisa mengendalikan setrum yang tiba-tiba saja serasa mengaliri seluruh pembuluh darahku. Dia tersenyum lagi.
“Sudah pulang ke Indonesia, Bang?” kali ini aku mengutuk diriku. Pertanyaan bodoh. Jelas-jelas ia kini di depanku—tentu saja di Indonesia.
“Iya, kangen buku-buku berbahasa Indonesia.” Katanya sambil menyodorkan sebuah buku yang judulnya tak sempat terbaca olehku.
“Oh, thesisnya sudah selesai ya? Wah, keren..” pembicaraan ini mulai kaku, aku tidak tahu harus berbicara apa. Bertemu dengannya di pertemuan yang amat tak terduga seperti ini adalah kejutan yang tak pernah kusiapkan bagaimana cara mengatasinya.
“Belum kok, Abang ke Indonesia cuma seminggu karena kebetulan dapat tiket sponsor. Sebentar lagi selesai insyaAllah, Sa. Doanya.”
“Aamiin. Sukses selalu, Bang.”
“Rumah Langit apa kabar?”
“Masih biru seperti langit, Bang. Maksudku, adik-adiknya masih ceria dan semangat. Kalau ada waktu senggang, main saja, Bang.”
Dia tersenyum. Ingin sekali kutanyakan banyak hal, tapi semua terkunci bisu di tenggorokan. Kapan ia akan mengunjungi Rumah Langit? Masihkah ia ingat pada junior macam aku yang hobi sekali bikin heboh di komunitas itu? Masihkah ia rindu hari-hari tertawa ketika merangkai permainan untuk adik-adik? Ah, tapi tak ada satu pun pertanyaan-pertanyaan itu yang terlontar . Hanya itu pembicaraan kami di pagi yang sepi di toko buku. Aku pamit sesaat setelah ia tersenyum. Kuambil saja buku “Filsafat Ilmu Komunikasi” yang dari tadi kubuka-buka dan kuserahkan ke kasir. Bang Izar masih menyusuri rak-rak buku itu. Aku menelan ludah sambil meninggalkannya. Kalau saja aku bisa berbicara padanya lebih lama… Kalau saja tenggorokanku tidak kering seketika.. Kalau saja tanganku tidak gemetar. Tapi entahlah perasaan apa ini namanya. Aku sudah lama sekali tak merasakannya sejak urusan patah hati menoreh luka di dasar hati. Aku seperti menyentuh langit. Melayang.
***
Nina tertawa mendengar ceritaku pagi ini, sepulang dari toko buku. Aku cepat mengetuk pintu kamarnya. Masih pukul 09.00, ia masih mengantuk. Aku yakin dia baru tidur pukul 07.00 mengingat kebiasaannya begadang semalaman. Ah, tapi demi mendengar ceritaku pagi ini, matanya terbuka lebar. Ia asyik menertawakanku. Aku cemberut.
It is a crazy little thing called love, Baby.” Katanya santai sambil menarik ciput jilbabku, membuat dahiku tertutup kain jilbab.
“Iya, terakhir aku melayang-layang di langit kayak gini ituuuu, lima tahun lalu, pas masih SMA. Kamu tahu persis ceritanya. Ah, kamu tahu aku hampir tak percaya pada hal kecil gila yang kamu sebut love. Bagaimana pun aku menjaga dan menghargai cinta, toh akhirnya cinta hanya berujung sakit kan? Sakit sekali, Nin. Melayang di langit, menunggu dijemput di singgasana bulan, lalu dijatuhkan begitu saja ketika senja menjelang.” Aku berbicara panjang sambil berfilosofi tidak jelas—kebiasaanku.
“Siapa yang bilang kalau cinta itu harus melayang-layang di langit? Itu salahmu sendiri, Aisa.”
“Huufft.. Salah lagi, deh.”
“Hei, ketika kamu dihadirkan pemandangan tentang birunya langit, kamu punya dua pilihan, menatapnya di bumi sambil tersenyum bahagia, atau membiarkan tubuhmu melayang-layang untuk menyentuh langit?”
“Baiklah, untuk urusan berfilosofi soal langit, kamu jago sekali, Nin. Aku menyerah.”
“Aku nggak nanya siapa yang jago berfilosofi, aku tanya, kamu pilih mana?”
Aku diam saja.
“Kamu pikir kenapa kemarin kamu patah hati? Karena kamu memilih melayang-layang di langit, kamu berusaha menyentuh singgasana bulan. Padahal kamu tahu kamu masih berada di waktu pagi. Kamu belum sampai pada malam hari, tapi kamu terburu-buru ingin melihat bulan. Nah, akhirnya, jatuh juga kan.” Kata Nina bijak sekali.
Aku masih diam saja.
“Hei, Aisa. Boleh aku tertawa lagi?” tanya Nina dengan wajah menyebalkan.
“Untuk apa?” jawabku tak kalah dengan wajah menyebalkan.
“Akhirnya kamu move on. Bukannya setelah jatuh dari langit kamu nggak berani lagi menatap biru langit? Hahaha. Aisa sudah move on.
“Apa sih, Nin?” aku tahu wajahku mulai memerah, “siapa yang tidak mengagumi Bang Izar? Aku yakin semua wanita di komunitas Rumah Langit mengaguminya. Seorang senior yang patut diteladani, kuliah beasiswa di luar negeri, prestasi cemerlang, organisasi luar biasa, akhlak terjamin, sholeh lagi. Semuanya ada di dirinya. Sekilas ia tampak begitu sempurna. Wajar kan kalau aku juga kagum?”
“Iya, iya. Asal kamu nggak melayang-layang aja di langit yaaa. Turun, hoi. Nanti sakit lagi kalau jatuh.”
“Ah, Nina. Tolong akuuu..”
“Baiklah. Apa pelajaran yang kamu ambil dari cinta yang katamu menyakitkan itu?”
“Bahwa cinta bukan soal berharap pada manusia. Nanti kecewa.”
“Nah, itu tahu. Ibarat menatap langit, kamu boleh menatap birunya. Tapi nikmati saja sendiri. Kamu tak perlu melayang-layang ingin menyentuh langit, nanti kalau jatuh sakit lho. Nanti ya, kalau emang langit mengizinkan, akan ada semacam gaya seperti gravitasi yang menarikmu untuk sampai di singgasana langit bersama bulan. Kamu bahkan tak akan mampu menolaknya. Jadi tak usah melayang-layang dulu.”
“Eh, bentar, Nin.” Handphone-ku bergetar. Sebuah pesan line. Izarpraduga. Tanganku gemetar membuka pesan itu.
Aisa, maaf kali ini belum bisa main ke Rumah Langit. Tetep semangat yaaa.. Nanti kalau udah selesai semuanya insyaAllah Abang mampir ke Rumah Langit dengan segudang cerita.
“Siapa?”
“Bang Izar, Nin. Huaaa. Melaaa..” Nina membungkamku yang berteriak bahagia, ia menarik handphone-ku.
“Hoi, dia nanyain Rumah Langit, bukan kamu. Mentang-mentang kamu suka, jangan lantas menafsirkan bahwa apapun sikapnya padamu adalah bentuk respons untuk perasaanmu. Inget rumusnya, kamu boleh menatap langit tapi tak perlu melayang-layang di langit. Nanti jatuh. Bahasa lugasnya, kamu boleh punya rasa gila itu, entah kamu sebut cinta atau apapun. Tapi nikmati saja rasa itu sendiri. Kamu boleh menikmati perasaanmu, tapi jangan pernah membiarkan harapan tumbuh sedikitpun. Nanti kamu berangan. Lalu kecewa jika anganmu tak sesuai.”
Aku mencerna baik-baik kalimat Nina. Bukankah pengalaman pernah patah hati harusnya membuatku mengerti betul tentang ini? Bukankah Tere Liye juga pernah bilang bahwa kalau kita mencintai seseorang, bukan berarti seseorang itu juga lantas menyukai kita. Jangan egois, jangan geer. Bukankah wanita itu harus pandai membuat benteng harapan dan membuat sistem manajemen harapan yang baik?
“Nin? Hoi? Kamu tidur ya?”
“Nggak, selama kamu masih konyol gitu, aku masih bakal tertawa dan nggak ngantuk.” Katanya sambil memeluk guling, matanya setengah merem, kontras sekali dengan kalimat dari lisannya. Dasar Ninaaaa…!
Aku membiarkannya tertidur, lalu tersenyum sendiri. Mungkin Nina benar, entah apapun namanya perasaan ini, toh ini awal yang baik. Barangkali Tuhan sedang mengabulkan doaku yang ingin “move on”. Barangkali Tuhan ingin memberiku ujian tentang “Manajemen Harapan” yang beberapa waktu lalu baru saja kupelajari lewat peristiwa bernama patah hati.
“Sa, coba hidupin itu laptopku, tadi aku baru saja buka statusnya Bang Tere yang baru. Pasti pas buat kamu.” Kata Nina dengan mata terpejam. Astaga, dia masih sadar rupanya. Kuikuti saja perintahnya. Sempurna, layar laptop itu membuatku diam dan mengalirkan air mata begitu saja. Barangkali beginilah cara kerja crazy little thing itu.
Sajak “Kalaupun Tidak”
Kalaupun dia tidak tahu kita menyukainya.
Kalaupun dia tidak tahu kita merindukannya.
Kalaupun dia tidak tahu kita menghabiskan waktu memikirkannya.
Maka itu tetap cinta. Tidak berkurang se-senti perasaan tersebut.
Justeru dengan ngotot ingin bilang, ingin pacaran, ingin aneh-aneh,
Perasaan itu tiba-tiba bermetamorfosis menjadi egoisme
dan sebatas keinginan yang tidak terkendali saja.
Bersabar dan diam lebih baik.
Jika memang jodoh akan terbuka sendiri jalan terbaiknya.
Jika tidak, akan diganti dengan orang yang lebih baik.
*Tere Liye
“Jangan melayang-layang lagi di langit, Aisa. Turun. Lebih baik kamu menengadah pada Tuhan agar diperluas hatimu. Kalau dia jodohmu, langit akan mengeluarkan daya tarik yang tak mampu kamu tolak.”
“Hei, benar! Kamu belum tidur?”
“Aku cuma terpejam, tapi belum tidur.” Aku mencubitnya. Dia tertawa sambil terpejam.


*end*


You Might Also Like

0 comments: